Kamis, 17 April 2014

Berawal dari percakapan itu

Berawal dari percakapan manis yang tak kunjung usai dari hari kehari. Aku mulai menyukai caramu memulai setiap percakapan dan merasa ada sesuatu yang menarik antara kita. Mungkin aku terlalu cepat mengartikan perasaan ini, aku tak tahu apa hanya aku yang merasakannya atau mungkin kau juga merasakan rasa ini. Mungkin aku yang merasakannya terlebih dahulu, atau mungkin aku terlalu perasa. Aku tak mengerti apakah kamu datang untuk mengobati luka dihatiku atau nantinya kamu juga akan meninggalkanku sama sepertinya. Percakapan hingga larut malam ini begitu manis. Kamu membuat malam dingin ini menjadi hangat ketika kamu masih ada dilayar hpku. Semakin hari kamu semakin memberikan harapan. Kamu memperlakukanku layaknya kamu mencintaiku. Aku semakin hari semakin mencintaimu dengan caramu memberikan kata kata manis diujung telfon dan ucapan setiap pagi dan malam yang tak pernah kau lupa. Dan kau menjadi bagian dalam hidupku. Berbulan bulan kau memberikanku harapan tapi kau tak memberikan kepastian. Aku masih tetap terdiam dan menikmati semua yang ada. Mungkin kamu belum siap untuk menyatakan semuanya, mungkin waktunya belum tepat. Aku menganggap semua baik baik saja. Kamu mulai sering menggodaku di social media, sehingga semua temanku menanyakan statusku denganmu. Aku tetap terdiam ketika ditanya tentang status. Aku benar benar tak mengerti apakah semua orang yang saling menyayangi harus punya status yang jelas? Bukankah mereka bersama saja sudah cukup? Hatiku semakin terbalut. Aku tak mengerti harus berbuat apa, tak mungkin seorang wanita menyatakan perasaan terlebih dahulu, dan setiap wanita yang berada di posisi ini akan memutuskan untuk tetap berdiam diri memendam perasaannya. Hatiku semakin tergugah, semua teman-temanku sudah terus mendesakku agar aku berbicara padamu dan meminta kepastian status kita. Bahkan aku sendiri bingung kamu tidak pernah menyebutkan kata “KITA” dalam percakapan manis atau telfon. Semuanya begitu manis sampai tangisanku menyesakkan dadaku. Aku mencoba memberanikan diri untuk mengungkapkan semua yang ada di hatiku. “Semua temanku menanyakan status kita.” “lalu?” “Aku tak mengerti harus menjawab apa. Aku hanya bilang kita dekat dan saling mencintai.” “Apa semua butuh status?” “Ya. Memang dulu aku berfikir tidak apa tidak ada status. Tapi semua ini begitu menyesakkan dadaku. Bahkan kamu pun tak pernah menyebutkan kata “KITA” dalam setiap percakapan kita. Aku sangat mencintaimu, kamu memberikanku harapan. Aku tak mudah membuka hati untuk orang lain. Namun akhirnya kamu datang padaku dan aku fikir aku mulai mencintaimu.” “Aku dan kamu bersama saja sudah cukup bukan? Mengapa kau terus mempermasalahkan status denganku? Aku tak perduli dengan status. Yang aku tahu aku dan kamu saling sayang sudah cukup itu saja. Aku tak mau memiliki status dengan orang lain. Aku tak mau kehilangan kamu, aku tak mau kita putus atau semacamnya. Aku tak mau aku dan kamu sama sama menjauh saat kita sudha lepas dari status nanti jika kita tidak ditakdirkan bersama. Aku berjanji aku akan mencintaimu.” “Mengapa kamu berjanji? Aku tak suka janji jika tidak ditepati. Aku tak suka janji jika semua akan berubah menjadi omong kosong!” “Maafkan aku belum bisa memberikanmu kepastian tentang status hubungan ini. Aku masih sering memikirkannya…” “Siapa? Masa lalumu? Lalu untuk apa kamu memberikan aku janji dan harapan?” “Maafkan aku…” “Maafmu tak cukup dan tak dapat menghapus luka dihatiku. Aku salah membuka hatiku untukmu,aku salah… tak apa jika kamu masih sering memikirkannya dan merindukannya tapi tinggalkan aku sendiri disini sekarang. Terimakasih untuk janji dan harapan yang telah kamu berikan padaku…” Malam itu aku berlari, menjauh darinya, menjauh dari hidupnya Aku menata kembali hidupku yang hancur mulai dari malam itu. Aku mengingat jelas lekukan wajahnya, dia hanya menatapku, matanya bersinar menunjukkan kepedihan hatinya. Aku tak dapat melupakan wajahnya. Hatiku sakit mendengar namanya, semua ini menyesakkan dadaku. Dia pun menghilang dari kehidupanku, orang yang dulu sering membuatku tertawa sekarang hanya bisa membuatku menangis sekencang kencangnya. Aku terus mencoba memperlihatkan bahwa aku baik baik saja dan sudah melupakan kesedihan itu. Sulit melupakan malam itu dan menjalani kenyataan yang ada. Kenyataan pahit yang membuat hidupku berubah, benar benar mengalami perubahan. Kata katamu masih menusuk hatiku, bayangmu selalu muncul. Hari hariku begitu keruh. Aku benci melihat masa lalu. Setiap malam aku selalu merindukanmu, aku masih belum bisa menyusun dengan rapih hatiku. Hatiku masih tetap untukmu walaupun kamu dan ragamu sudah menghilang. Betapa bodohnya aku menghabiskan waktuku untuk memikirkan kamu yang benar benar tak pasti. Beberapa bulan dari hari itu semua telah berlalu. Aku berjalan jalan sendiri senja itu, tak sengaja wajahmu berkelut dalam ingatanku. Dan di ujung sana aku melihatmu, aku tak percaya. Kamu duduk diam di ujung sana melihatku,aku bertemu lagi denganmu di tempat terakhir kita bertemu. Kita hanya saling bertatap muka dan menunjukkan rindu yang mendalam dari tatapan itu. Kamu menghampiriku dan memelukku “Aku tak dapat melupakanmu walau waktu telah berlalu. Kamu lebih penting dari masa laluku. Kamu begitu manis untuk selalu aku rindukan. Ahh…aku sangat merindukanmu. Jangan berbicara apapun, menangislah jika ingin menangis, aku sangat merindukanmu. Rindu ini begitu menyesakkan dadaku. Aku mencintaimu…” ucapnya sambil memeluk erat tubuhku.